Oleh: febrianaputri | Februari 20, 2012

Kisah Hidupku

Hitam kelam, kelabu malam

Menusuk hati yang terdalam

Akankah kau kembali

Kepelukanku lagi

Oh mungkin hanya mimpi

Jika engkau disini

Wahai kekasih hati

Wush … angin malam berhembus melewati sela-sela jendela kaca kamarku. Seketika aku menoleh berjalan kearah jendela dan kreep … menutupnya. Kutarik korden untuk menutupi pemandangan malam. Bagiku hari ini sama saja, kuletakan bolfoin diatas diaryku. Kurebahkan tubuhku diranjang. masih teringat kejadian ditangga tadi. Radit.

Kalian pasti belum menggenal Radit. Dia adalah sahabatku. Umurnya 1 tahun lebih tua dariku. Sekarang dia kakak kelasku. Dia sangat dekat denganku. Selalu ada bersamaku. Disetiap waktu dan hidupku. Aku senang bersamanya tapi itu dulu sebelum masalah-masalah itu muncul. Aku terlelap dalam tidurku.

 

Kring.. kring.. Ahh, kubuka mataku pelan-pelan. Rupanya pagi sudah datang. Kumatikan alarmku dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah bersiap-siap aku langsung berangkat kesekolah tanpa makan pagi. Aku tak sempat karena jam sudah menunjukan pukul 06.45. Dijalan aku memandang entah kemana. Tiba-tiba anganku datang menuju 1 tahun lalu. Aku terdiam dan ketika lamunanku buyar saat pak Marto sopirku bicara.

“Non, udah sampai.”

“Oh, iya pak. Makasih ya. Jeputnya nanti tak sms aja ya?”

“Baik Non.”

Ketika mobilku melaju. Nadin memanggilku.

“Talitha!” Aku hanya menoleh dan memandangnya.

“Lama amat sih lo. Gue pegel tau nungguin elo.” Ujarnya sebal.

“Yee, siapa suruh nungguin gue. Iyadeh maaf, maaf. Gue tadi bangun kesiangan. Soalnya tuh ya… ups eh cepetan yuk.” Hampir saja aku mau cerita kalo tadi malam aku keingetan kisahku dulu.

“Soalnya apa?” Tanya Nadin heran.

“Enggak kok lupain aja. Udah yuk masuk. Keburu terlambat lagi.” Jawabku sembari menarik tangannya.

“Iihh lo punya rahasia ya?” tanyanya kembali.

“Mmm.. iya sih tapi maaf soal ini aku gak bisa cerita. Suatu saat pasti elo juga ngerti kok.” Kataku menjelaskan dengan tatapan mata sayup.

Nadin hanya diam. Kedua tangannya memegangi bahuku. Aku mengerti dia mencoba menangkanku.

“Eh, eh Tha itu Matthias kan. Uwh gantengnya …?” kata Nadin dengan menunjukan jari telunjuknya kearah seseorang yang disana.

“Yah itu sih menurut elo. Bagi gue ya biasa aja. Huh kenapa tiba-tiba mata lo kemana-mana sih?” tanyaku heran.

“Kan lo tau, kalo mata gue itu ada sinyalnya. Hahaha…”

***

 

Jam pelajaran telah usai. Aku berjalan sendirian karna Nadin udah pergi sama Matthias. Aku berniat menuju perpustakaan buat minjem novel Teenlit. Dengan langkah gontai aku menuruni tangga kelas. Masuk ke ruang perpustakaan, mengisi daftar dan menuju deretan rak buku yang penuh dengan novel-novel remaja. Mataku mulai memburu buka. Jemariku menari mencari-cari novel yang menarik. Tak berapa lama aku menemukannya. Novel yang bersampul warna ungu violet berjudul Corsage. Saat tanganku akan menyentuh novel itu tiba-tiba seseorang memanggilku.

“Talitha.”

“Radit?” Aku terdiam menatapnya didepanku.

 

Ku urungkan niatku untuk mengambil novel tadi. Aku beranjak pergi tanpa mempedulikan Radit. Aku yakin dia pasti sudah mengerti apa maksudtku. Sudah hampir 1 tahun aku tak berhubungan dengannya. Sebenarnya aku kangen sekali sama dia. omelannya. Sifat dinginnya. Kedewasaannya. Petiksn gitarnya. Perhatiannya. Dan semua tentangnya. Tapi aku masih belum bisa memaafkannya. Walau hati kevilku berkata aku telah memaafkannya.

***

 

Senja kini berganti malam 
Menutup hari yang lelah 
Dimanakah engkau berada 
Aku tak tau dimana 
Lelah kita lalui semua 
Jerit tangis canda tawa 
Kini hanya untaian kata 
Hanya itulah yang aku punya 
Tidurlah… selamat malam 
Lupakan sajalah aku 
Mimpilah dalam tidurmu 
Bersama bintang 

 

Petikan gitar mengalun lembut mengiringi suara khas serak basah dari Radit. Yang berdiri didepanku dan baru saja memainkan sebuah lagu. Kuakui hatiku luluh karenanya. Tapi tetap saja aku berpura-pura untuk tidak mendengarnya, dan tetap terpaku pada buku.

“Tha. Maafin gue.” Ujarnya lirih.

Aku hanya diam.

“Tha pliss.. maafin gue. Gue masih sayang elo.” Ujarnya kembali dengan nada dikeraskan.

“Cukup. Kemana lo dulu? Kemana? Lo lupa? Apa pura-pura lupa? Inget ya kekeewaan gue ini gak akan pernah ada akhirnya. Kenapa sih lo baru dating sekarang? kenapa lo baru berani muncul? Lo jahat tauk.” Bentakku dengan tangis terisak.

 

Sontak semua anak-anak ngumpul melingkari dan memandangi kami. Dan mereka mulai bertanya-tanya.

“Mm kak Radit ini siapanya Talitha sih? Kakanya? Temennya? Sahabatnya? Ato jangan* pacarnya Talitha lagi?” ujar Nadin tanpa dosa.

Aku hanya diam tak menanggapi ketika tiba-tiba Radit mulai menceritakan semuanya.

“Dulu aku dan Talitha itu sahabatan. Ya, sahabat yang sangat dekat. Lambat laun perasaan itu muncul. Aku mencintai Talitha.”

“Begitu juga aku. Persahabatan kita tidak hanya berdua. Tapi bertiga, bertiga dengan Manda.” Sambungku.

“Terus sekarang Manda dimana?” Tanya Nadin penasaran.

Tiba-tiba air mata jatuh dari pelupuk mataku begitu juga Radit.

“Manda sudah meninggal.” Jawabku bersamaan dengan Radit.

“Waktu itu aku dan Talitha memutuskan untuk pacaran. Kami berdua memberi tau Manda. Tanpa kami tau ternyata Manda mencintaiku. Dia menjauh dari kami. Kami sempat berkunjung kerumahnya. Namun pada saat itu dia sedang sakit. Ibunya mencegah kami untuk menjenguknya. Ibunya bercerita bahwa dia menyidap kanker lambung stadium 4. Parahnya dia tidak tau. Setelah hari itu Talitha menyuruhku mencintainya tapi aku sama sekali tidak bisa. Talitha terus mendesakku hingga akhirnya aku memutuskan Talitha. Sakit memang karena sebenarnya aku masih mencintai Talitha. Namun, sejak saat itu aku tidak pernah mendekati Manda. Aku menjauh dari mereka, aku ikut ayahku untuk melanjutkan SMA di New York. 3 bulan kepindahanku, aku dikejutkan olrh kabar dari Ibuku dijakarta yaitu kepergian Manda selamanya. Saat itu tubuhku melemas. Aku menyesal. Sahabatku telah tiada sedangkan aku menyi-nyiakanya dan meninggalkanya. Pada akhirnya 1 tahun kemudian aku kembali kesini. Memberanikan diri meminta maaf ke Manda dan Tlitha. Aku tidak tau apakah Manda mau memaafkanku atau tidak. Yang jelas Talitha tidak.” Jelas Radit dengan tertunduk.

Aku diam kemudian berlari menembus kerumunan. Menghilang. Menyembunyi. Sendiri. Merenungi diri. Aku sadari semua telah terjadi.

***

 

Jam 13.00 Aku duduk ditaman. Dibawah rindangnya pohon mahony yang menjulang tinggi. Angin bertiup sepoi-sepoi. Sesekali aku melirik jam tanganku.

“Uwwwhh.. maaf Talitha gue baru bisa dateng. Soalnya habis rapat persiapan lomba basket persahabatan antar SMA.”

“Iya Radit gapapa kok. Nih.” Ujarku sembari melemparkan sekaleng soft drink kearahnya.

“Wush.. bilang-bilang dong kalo mau lempar untung aja ktangkep. Tapi thanks ya?:-). Ada apa sih? Gue seneng banget tau lo mau ngomong sama gue.” Ucapnya sembari menjatuhkan tubuh ke bangku.

“Gue mau juur Dit. Jujur kalo gue masih cinta elo. Sebenernya gue udah lama maafin lo. Maafin egoku. Gue kehilangan lo saat lo pergi tanpa bilang kegue.” Seketika Radit memandangku penuh makna. Kemudian memelukku.

“Makasih Tha, makasih banget. Gue seneng lo ngomong gitu. Lo gak ada salah sama sekali ke gue.”

“Gue sayang elo. Sayang banget.” Ujarku tersenyum.

Radit mengeluarkan sebuah permen berbalut bungkus berwarna pink bercorak gambar hati dari sakunya.

“Mau gak lo jadi pacar gue lagi?” ujarnya mengagetkanku.

“Gag…. Gue gak nolak :p. hehehe.”

*** bersambung…


Tanggapan

  1. wuzzahhh… welokkk 😀

    • apa to ya ?? weehh :p

      • haha, takpapa 😛
        apikk kok 😉

      • wew bo’ong ..

      • ehh, beneran, Pheb 😀

      • hehe makasih lo 🙂

      • hehe, okeoke 😀

  2. sip


Tinggalkan komentar

Kategori